Biografi
Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro bernama
kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang
selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk
mengangkatnya menjadi raja.
Ia menolak mengingat ibunya
bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden
Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada
kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo
tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng
TegPemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana
V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang
mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun.
Sedangkan pemerintahan
sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara
perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Riwayat Perjuangan Pangeran Diponegoro
Riwayat perjuangan Pangeran
Diponegoro melawan penjajah Belanda dimulai dari Perang Diponegoro. Perang
tersebut merupakan perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun
(1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Perang ini antara pasukan
penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi
yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam
perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit.
Baik korban harta maupun jiwa.
Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa
sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu
Belanda, korban tewas berjumlah 8.000. Perang Diponegoro merupakan salah satu
pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah
Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah
perang ini sebagai Perang Jawa.
Setelah kekalahannya dalam
Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan
ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai
pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda.
Selain itu, mereka juga
melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan.
Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang
ketika itu sudah sangat menderita.
Untuk semakin memperkuat
kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan
lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika
Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang
baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa.
Akan tetapi pada prakteknya,
pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah
dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang
yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
Awal Mula Pecahnya Perang Diponegoro
Pada pertengahan bulan Mei 1825,
pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta
ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu
melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam
dari leluhur Pangeran Diponegoro.
Hal inilah yang membuat Pangeran
Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda.
Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang
melewati makam tersebut. Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran
Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung
kediaman beliau.
Terdesak, Pangeran beserta
keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di
Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa
Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Sementara itu, Belanda
yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro membakar habis kediaman
Pangeran. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang
terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya.
Pangeran menempati goa sebelah
Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau.
Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran
setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah
Timur.
Setelah penyerangan itu,
dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah
kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk,
sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai
mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro.
Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual
pemberontakan
Selama perang ini kerugian pihak
Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara
terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa
menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Penangkapan Pangeran Diponegoro
Dalam biografi Pangeran
Diponegoro diketahui bahwa pada tanggal 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro
dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah
Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam
dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de
Kock dari Batavia.
28 Maret 1830 Diponegoro menemui
Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan
mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak
Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu
juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung
Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5
April.
Tanggal 11 April 1830 sampai di
Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil
menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April
1830 keputusan pun keluar.
Pangeran Diponegoro Wafat
Pangeran Diponegoro, Raden Ayu
Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya
seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux
ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
Pada tahun 1834 dipindahkan ke
benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada tanggal 8 Januari 1855
Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Dalam perjuangannya,
Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki
Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Perjuangan Anak Pangeran Diponegoro
Bagus Singlon atau Ki Sodewo
adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrowati Puteri Bupati
Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu
dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki
Sodewo snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas
Darah Dalem Keraton Yogyakarta.
Perjuangan Ki Sodewo untuk
mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan
ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada
Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh
Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot
bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti
suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu
diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki
Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar
keberadaannya tidak tercium oleh Belanda.
Belanda sendiri pada saat itu
sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai
penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama
Singlon yang artinya penyamaran.
Keturunan
Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo
pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan
dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni
Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban
Trah Sodewo. Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang
putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa,
Sulawesi & Maluku
Juga Tersedia juga Biografi Pahlawan Nasional lainnya :
- BIOGRAFI DAN BIODATA - CUT NYAK DIEN
- BIOGRAFI DAN BIODATA - JENDRAL SUDIRMAN
- BIOGRAFI DAN BIODATA - R.A. KARTINI
- BIOGRAFI DAN BIODATA - DEWI SARTIKA
- BIOGRAFI DAN BIODATA - KI HAJAR DEWANTARA
- BIOGRAFI DAN BIODATA - KH AHMAD DAHLAN
- BIOGRAFI DAN BIODATA - MOH. HATTA
- BIOGRAFI DAN BIODATA - MOH. YAMIN
- BIOGRAFI DAN BIODATA - PANGERAN DIPONEGORO
- BIOGRAFI DAN BIODATA - TUANKU IMAM BONJOL
- BIOGRAFI DAN BIODATA - Ir. SOEKARNO
- BIOGRAFI DAN BIODATA - TEUKU UMAR
- BIOGRAFI DAN BIODATA - TOKOH TIGA SERANGKAI
- BIOGRAFI DAN BIODATA - WR. SUPRATMAN
No comments:
Post a Comment