SANG KINCAT
Asal Cerita : Prabumulih, Sumatera Selatan
Dahulu kala di sebuah ladang milik Tuan
Raja dijaga oleh seorang perempuan tua yang bernama Sang Kincat. Sang Kincat
sangat ramah dan baik hati kepada siapa pun sehingga tak heran setiap hari.
Pondok yang didiami Sang Kincat selalu
didatangi para tamu yaitu sahabat-sahabatnya, Sang Kancil, Biawak, Kura-kura
dan yang paling sering kali tandang ke pondok Sang Kincat adalah seekor Rusa
Belang. Setiap hari Rusa belang datang menemui Sang Kincat.
“Oi... Sang Kincat kebat kakiku kani, kata
Rusa belang setiap menemui Sang Kincat.
“Apa yang pacak kukebatkan ke kakimu, Aku tak apana
tali bekal ngebat kakimu”, kata Sang Kincat dengan kepolosannya. Maka
tertawalah si Rusa Belang sambil berkata, “Sang Kincat kalu kau nak ngebat
kakiku tak usah bingong untuk nyari pengebatna cukup kau kumpolan rumput karetis, ritang dan
jela-jela”. Maka mendengar ucapan sang
Rusa Kincat langsung mengumpulkan rumput-rumput sesuai permintaan Rusa Belang.
Rusa Belang sangat senang karena kelicikannya tidak diketahui Sang Kincat.
Setelah ia merasa kenyang ia pun pamit kepada Sang Kincat.
“Sang Kincat terima kaseh kau lah ngebat
kakiku. Pegisok pagi aku datang lagi dan tulong kumpolan rumput cara yang
tadi”, kata Rusa belang. Pulanglah rusa ke rumahnya dengan perut yang kenyang.
Sang Kincat juga merasa senang karena telah dapat memenuhi permintaan
sahabatnya.
Keesokan harinya Rusa Belang pun datang
lagi dan minta ikat kakinya oleh Sang Kincat. Sang Kincat pun memenuhi
permintaan rusa sahabatnya itu. Tak lama setelah rusa pergi datanglah Raja ke
pondok Sang Kincat untuk melihat ladangnya yang dijaga Sang Kincat. Sang Kincat
pun menceritakan kedatangan sahabatnya Rusa Belang kepada Raja. Maka Raja
menyarankan kepada Sang Kincat supaya mengikat kaki si Rusa Belang dengan tali
pengikat pemberian sang Raja.
“Sang Kincat, kalu Rusa Belang detang kau
kebat kakina dengan tali yang kutunde kani dan jangan dilepaskan”, kata Sang
Raja.
Aok Paduka Raje, kelak kugewean perentah
paduka”, jawab Sang Kincat.
Keesokan harinya si Rusa Belang kembali
bertamu ke Pondok Sang Kincat, Rusa meminta supaya Sang Kincat mengikat kakinya
seperti hari-hari kemarin.
“Sang Kincat, tulong aku cara yang
kemarin,”, kata Rusa Belang.
“Aok Kawan, aku kan kawanmu yang baek”,
jawab Sang Kincat.
Sang Kincat pun menuruti perintah
sahabatnya itu, Sang Kincat mulai mengikat kaki rusa dengan menggunakan tali
pemberian Raja. Rusa pun merasa sangat terkejut karena Sang Kincat tidak lagi
mengikat kakinya menggunakan rumput karetis, rintang dan jela-jela.
“Oi .... Sang Kincat ngapa kakiku kau kebat
dengan tali kani, tolong lepaskan aku”, kata Rusa Belang kepada Sang Kincat
dengan menghiba. Namun Sang Kincat tidak mengabulkan permintaan rusa, ia ingat
pesan raja bahwa jangan dilepas ikatan kaki rusa sebelum raja datang.
“Maaf Rusa, tali kami gelang yang istimewa
karena gelang kani gelang dari Raje”, kata Sang Kincat kepada sahabatnya si
Rusa Belang. Mendengar kata-kata dari Sang Kincat, Rusa merasa ketakutan bahwa
kini dia benar-benar dalam bahaya. Dari kejauhan terdengarlah suara gonggongan
anjing milik Tuan Raja yang akan ke Pondok Sang Kincat, “Uwak ...uwak
...guk-guk,” suara Raja ditimpali gonggongan suara anjingnya.
Tak lama kemudian datanglah Tuan Raja
beserta beberapa orang prajuritnya ke pondok Sang Kincat. Raja sangat senang
melihat seekor rusa yang besar dan gemuk telah tertambat di tiang pondok Sang
Kincat., “Sari keni, kita makan besak,” kata Sang Raja.
“Tulong aku, Ba...Baginda Raje, Jengan aku
disambeleh”, kata Rusa Belang.
“De, aku lah lama tak makan deging yang
nyaman mak kani”, kata Sang Raja.
Rusa itu berusaha meronta-ronta namun tidak
bisa melepaskan diri.
“Prajurit,
sembeleh Rusa kani,” kata Sang Raja
“Aok, Tuan Raje,”, jawab Prajurit
Prajurit pun mulai melaksanakan tugasnya,
segera menyembelih rusa itu, lalu dipotongnya bersama-sama.
Sang Kincat mendapat bagian usus dan kulit
rusa sesayak kelapa. Sang Kincat segera pergi ke sungai mencuci rusa pemberian
Sang Raja. Sambil mencuci daging rusa menangislah Sang Kincat tersedu-sedu,
kini ia menyesali perbuatannya yang telah tega membunuh sahabatnya sendiri.
Tanpa ia sadari ternyata ketika ia menangis
dilihat oleh segerombolan monyet. Monyet-monyet itu pun mengejek Sang Kincat
karena Sang Kincat menangis.
“Sang Kincat ringkeh nian gigimu siapa lah
kira-kira yang ngerapian na ? Kami kepengen gigi kami serupa kek mu”, kata
monyet sambil tertawa mengejek. Mendengar ejekkan monyet-monyet itu Sang Kincat
sangat marah.
“Oh ...mingkak kapengen gigi serupa kek ku
ne carana mudah.
Silahkan mingkak naek kayu tengi-tengi dan
jangan turun sebelum aku perintahan”, kata Sang Kincat.
Tanpa berpikir panjang manjatlah
monyet-monyet ke atas pohon yan telah ditentukan Sang Kincat.
Sementara itu Sang Kincat mengumpulkan kayu
sebanyak-banyaknya di bawah pohon tempa monyet-monyet itu. Tak lama kemudian
Sang Kincat menyalakan api pada tumpukan kayu itu.
“Oi ...Sang Kincat matian api ni kami pacak
mati keangatan !”, kata si monyet.
“Diam bukak mulutmu jar gigimu ringkeh dan
rapi serupa kek ku”, kata Sang Kincat.
Lama-kelamaan seekor demi seekor monyet itu
jatuh terbakar dalam nyala api, oleh sebab itulah gigi monyet tanpak kelihatan
rapi karena dipangur Sang Kincat.
Demikianlah cerita Sang Kincat dan ada
beberapa pelajaran yang dapat diambil dari cerita ini yaitu janganlah kita
berbuat licik terhadap teman dan dalam mengambil suatu tindakan harus
dipikirkan terlebih dahulu.
Selesai
Lihat Juga :
No comments:
Post a Comment